Take it for granted (menganggap sudah benar dan wajar) itu
adalah sikap yang terlalu banyak dipakai orang dengan agak berlebihan,
lebih dari batas kewajaran.
Contoh paling bisa dirasakan adalah kemerdekaan. Kita mengenyam rasa
bersuasana merdeka dan berNegara Indonesia ini, memang seperti sudah
sewajarnya. Jadi cara-cara di dalam menyikapinya agak menjadi kurang
tepat. Menganggap bahwa merdeka itu seperti menghisap udara mengisi
rongga pernapasan kita dengan bebas, bas, dengan bersenang-hati karena
udara ada secara melimpah di sekitar diri kita.
Nilai udara ini tidak
dirasakan berharga karena sudah tersedia dan setiap saat bisa dihirup
dengan otomatis, tidak usah dihargai dan dipikirkan. Rasa merdeka juga
persis sama, kurang perlu berhati-hati dalam menyikapinya dan tidak
penting dirasakan.
Merdeka mempunyai bagian yang paling sulit, yaitu: MENGISI KEMERDEKAAN.
Kita, saya dan anda, pasti akan berbalik menilai tinggi apa itu rasa
merdeka dan keberadaan udara di sekeliling kita, bila telah berkurang
atau malah sudah tersisa tinggal sedikit saja. Nilainya tiba-tiba terasa
naik. Tidak bisa digantikan dengan yang lain, karena tidak ada yang
bisa menggantikannya. Seorang yang anggun dan berkuasa tiba-tiba
terlibat perkara dan tiba-tiba pula ditahan di dalam tahanan polisi di
penjara, rasa kemerdekaannyapun hilang.
Bagaimana dengan halnya udara?
Aha, celakalah kita, dalam mengatur pernapasan karena menipisnya udara.
Janganlah menganggap kemerdekaan dan udara itu sama dengan yang
lain-lain seperti makanan dan minuman. Tidak ada nasi, bisa diganti
dengan roti atau singkong, tidak ada air putih, bisa diganti dengan coca
cola atau bir sekalipun.
Kita sedang mengalami kemerdekaan yang agak berlebihan cara
menyikapinya selama masa reformasi sejak tahun 1998an, empat belas tahun
yang lalu. Dulu, selama 32 tahun sebelum 1998 kita tidak punya banyak
berkesempatan dengan ‘merdeka dalam menyatakan pendapat’, setelah
reformasi, kita bisa bahkan secara berlebihan dalam melakukannya keluar
dari kepantasan.
Hak perorangan lain kita terabas saja dan kita langgar habis-habisan.
Perduli setan.
Hari ini saya menerima pesan melalui email dari seorang teman yang di
dalamnya dia menyebutkan bahwa di dalam sebuah Milis yang kami berdua
menjadi anggota, suasananya telah berubah menjadi tempat orang membuang
sampah berupa kejengkelan terhadap para Penyelenggara Negara, dengan
menggunakan tata cara mencaci maki yang amat keji serta di luar
kebiasaan yang dulu biasa dan pernah kita pakai dalam pergaulan
sehari-hari. Kalau dulu kita biasa memanggil pimpinan Negara tertinggi
kita dengan Bapak atau malah Paduka, sekarang dengan memanggil nama
saja, bahkan singkatan namanya: SBY.
Memang yang bersangkutan tidak keberatan dipanggil dengan singkatan
seperti itu, tetapi tentu saja kalau suasananya masih di dalam suasana
saling hormat. Tetapi kalau suasana kebencian sudah menjadi pokok
pembicaraan? Terasa kental rasa tidak suka yang menyelimutinya. Dengan
suasana seperti ini maka isi ungkapan menjadi kasar dan saya membacanya
dengan rasa biasa saja, meskipun amat kurang suka bila harus menirunya.
Itulah gambaran salah satu sudut dunia cyber / maya kita
yang isinya diduga bisa dikatakan sebanyak lebih dari 90 % diisi dengan
caci maki apapun yang meliputi banyak bidang. Pada saat ini yang amat
dominan adalah mengenai pemerintahan Negara dan para penyelenggaranya.
Saya juga menduga bahwa banyak dari kita ini tidak terlalu gemar apalagi
menyukai hal seperti ini. Tetapi rasa “menikmati” kemerdekaan bisa
memaki dan mencaci orang itu sudah agak lama, selama lebih dari 30 tahun
lamanya, tertanam amat dalam tidak berani muncul. Maka terlihatlah
sekarang bagaimana semburan rasa tertekan ini menjadi berbagai macam
bentuk ulah manusia yang seakan-akan baru merasakan kebebasan yang
berlebihan.
Saya bertanya kepada diri sendiri, sampai berapa lama kita sanggup
meneruskan sikap-sikap yang sesungguh-sungguhnya mungkin sekali kita
sendiri tidak menyukainya??
Seharusnya kita sudah waktunya mengendalikan diri sendiri,
masing-masing, mengurangi suasana kurang nyaman seperti ini. Saya pikir
dengan pasti dan perlahan sudahlah tiba waktunya kita menguranginya
sedikit demi sedikit. Saya juga seperasaan mengenai suasana karut marut
yang pernah kita alami selama lebih dari 30 tahun lamanya di bawah
pemerintahan yang lampau yang telah berakhir, sesuai dengan salah satu
dari hukum alam: Semua Ada Akhirnya.
Itu tidak berarti kita biarkan mereka yang korupsi memalingi hak rakyat.
Kita tak akan biarkan mereka memutar balikkan hukum.
Kita tidak boleh menjadi tidak perduli.
Tetapi mari kita tata diri kita sendiri dengan lebih baik dari yang sudah-sudah.
Kita awasi keluarga kita sebaik-baiknya terlebih dahulu, sekali lagi, keluarga kita dahulu !
Mengapa saya imbau anda memulai dari diri sendiri?
Begini.
Saya melihat kita semua mengikuti trend / kecenderungan untuk ikut melanggar lampu lalu lintas dan juga tata cara sopan santun berlalu lintas.
Kita ikut melakukan berdemonstrasi untuk hal-hal yang kurang perlu,
karena berakibat yang merugikan mereka yang tidak ikut berdemo.
Kita ikut tidak melakukan ketaatan terhadap hukum yang berlaku, hanya karena melihat orang lain dengan bebas melakukannya juga.
Kita ikut trend memuja produksi asing, padahal produk kita sendiri sudah ada siap pakai, bermutu hanya sedikit saja lebih rendah.
Kita suka membeli beras atau makanan produk asing malah dengan rasa bangga biarpun harganya lebih mahal dari produk lokal?
Kita juga senang sekali membodohkan para penyelenggara Negara kita,
yang belum tentu demikian bodohnya. Apalagi kita juga sering
membandingkannya dengan orang asing di negaranya sendiri.
Patutkah kita membandingkan Obama dangan SBY ?? Atau dengan LKY = Lee
Kuan Yew dan Mahathir? Tiap Kepala Negara akan bertindak sesuai dengan
kebutuhan Negaranya masing-masing yang memang bersifat unik. Kami dan
kita, di Indonesia, mengharapkan para Penyelenggara Negara itu menjadi
manusia yang baik budi dan bermoral prima, tetapi harus kita samakan
dengan persepsi yang timbal balik: KITA JUGA HARUS BERSIKAP BAIK DAN
JUJUR.
Saya pesankan saja kepada kaum muda: Belajarlah baik baik dan
meningkatkan pengetauan anda masing, setinggi-tingginya sekarang juga.
Bermodalkan ini saja akan bisa dijamin kehidupan anda dengan nafkah
halal.
Anda pasti akan menggantikan mereka yang saat ini sedang berkuasa dan
berjaya, karena mereka juga akan sampai di batas kemampuan mereka
sebagai manusia, yakni Mati !!
Sekali lagi: andalah, kaum muda, yang menjadi penggantinya!
Di saat dan di tempat itulah anda akan duduk dan menggantikan mereka,
tetapi memulai dengan generasi baru yang tidak acak-acakan dalam
mengelola Negara kita yang kita cintai: Republik Indonesia.
Berbesar hatilah !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar